Tragedi Kemanusiaan di Israel-Palestina: Akar Konflik, Perjalanan Sejarah, dan Tantangan Perdamaian

 

Hampir 3000 orang tewas dan lebih dari 10.000 orang terluka dari pihak Palestina dan Israel dalam perang Israel-Hamas dalam seminggu ini. Kementerian Kesehatan Palestina melaporkan sekitar 1500 orang Palestina meninggal dunia dan lebih dari 7000 orang mengalami luka-luka. Pihak Israel menyebutkan sekitar 1300 orang Israel tewas dan sekitar 3400 orang terluka (cnnindonesia.com, 13 Oktober 2023).

Tentu ini tragedi kemanusiaan yang sangat menyedihkan dan tidak bisa dibiarkan akibat konflik Israel-Palestina yang berkepanjangan sejak didirikannya negara Israel pada 1948. Apa sebenarnya akar konflik Israel-Palestina ini?

Konflik Israel-Palestina adalah salah satu konflik paling berkepanjangan dan paling kompleks di dunia modern. Ini memiliki akar sejarah yang mendalam selama lebih dari satu abad dan terus mempengaruhi kehidupan jutaan orang di Timur Tengah. Untuk memahami ketegangan dan kekerasan yang sedang berlangsung di wilayah ini, kita harus melihat lebih dalam kepada faktor-faktor sejarah, politik, dan budaya yang telah berkontribusi pada konflik Israel-Palestina.

Akar konflik Israel-Palestina dapat ditelusuri kembali ke akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 ketika gerakan Zionisme, yang berusaha membangun tanah air Yahudi, mulai mendapatkan momentum. Pamphlet "The Jewish State" yang ditulis oleh Theodor Herzl (1860-1904), seorang Yahudi Austria-Hungaria, sering dianggap sebagai dokumen dasar Zionisme politik modern. Tujuan gerakan ini adalah membangun tanah air Yahudi di Palestina, yang saat itu merupakan bagian dari Kekaisaran Ottoman.

Wilayah Palestina selama berabad-abad dihuni oleh mayoritas penduduk Arab, termasuk Arab Palestina, komunitas Yahudi, dan Kristen. Ketegangan meningkat seiring dengan imigrasi Yahudi ke Palestina. Deklarasi Balfour pada tahun 1917, dikeluarkan oleh pemerintah Inggris selama Perang Dunia I, menyatakan dukungan untuk pembentukan "ru

Nasionalisme memainkan peran sentral dalam konflik Israel-Palestina. Kebangkitan gerakan nasionalis Yahudi dan Palestina berkontribusi pada bentrokan identitas dan aspirasi. Nasionalisme Yahudi, atau Zionisme, bertujuan untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina, sementara nasionalisme Palestina berusaha mempertahankan identitas Arab dan hak atas tanah mereka.

Pada periode pasca-Perang Dunia, imigrasi Yahudi ke Palestina meningkat, dan ketegangan semakin memuncak ketika komunitas Palestina dan Yahudi bersaing untuk menguasai tanah Palestina. Perebutan wilayah dan identitas ini memperdalam jurang antara kedua kelompok dan pada akhirnya membentuk dasar bagi konflik berkepanjangan dan berdarah yang terus berlanjut.

Keputusan PBB pada tahun 1947 untuk membagi Palestina menjadi dua negara terpisah, yaitu negara Yahudi dan negara Arab, mencatat titik balik krusial dalam konflik Israel-Palestina. Meskipun pemisahan ini diterima oleh pemimpin Yahudi, pemimpin Arab menolaknya, memicu perang besar antara pasukan Yahudi dan pasukan Arab. Pada tahun 1948, negara Israel secara resmi didirikan. Proses ini menyebabkan pengusiran massal sekitar sejuta warga Arab Palestina dari tanah mereka, dan pada gilirannya, menciptakan negara mayoritas Yahudi di tanah Palestina. Peristiwa tragis ini, yang dikenal sebagai Nakba (catastrophe; malapetaka), tetap menjadi kenangan yang pahit bagi Palestina hingga saat ini.

Selama beberapa dekade, berbagai upaya internasional telah dilakukan untuk mencapai solusi damai dalam konflik Israel-Palestina. Perjanjian Oslo pada tahun 1993 menciptakan Otoritas Palestina dan merancang peta jalan untuk negosiasi. Namun, upaya-upaya damai berikutnya seringkali gagal mencapai resolusi akhir. Isu-isu inti, seperti status Yerusalem, hak kembalinya pengungsi Palestina, dan perbatasan antara negara Palestina-Israel, tetap menjadi sumber kontroversi dan belum menemukan titik temu.

Dengan demikian, konflik Israel-Palestina dapat dianggap sangat berakar pada faktor-faktor sejarah, politik, dan budaya yang membentuk Timur Tengah modern, serta campur tangan Barat. Memahami akar masalah ini menjadi kunci untuk menemukan jalan menuju perdamaian dan koeksistensi. Sejarah konflik yang kompleks, peran nasionalisme, dan perjuangan untuk menguasai wilayah oleh kedua pihak terus menjadi tantangan bagi para pemimpin dan organisasi internasional dalam mencari penyelesaian berkelanjutan. Terlepas dari tantangan yang besar, tetap menjadi kewajiban moral bagi dunia untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan, yang memenuhi hak-hak dan aspirasi yang sah dari kedua belah pihak, yaitu warga Israel dan warga Palestina.

LihatTutupKomentar