Konflik Israel-Palestina bermula
setelah Inggris menguasai wilayah yang dikenal sebagai Palestina setelah
kekalahan Kesultanan Ottoman dalam Perang Dunia Pertama. Wilayah ini dihuni
oleh minoritas Yahudi dan mayoritas Arab, bersama dengan kelompok etnis lainnya
yang jumlahnya lebih sedikit.
Ketegangan antara kedua kelompok
etnis tersebut meningkat, mendorong komunitas internasional untuk memberikan mandat
kepada Inggris untuk mendirikan "rumah nasional" bagi orang Yahudi di
Palestina. Keputusan ini merujuk pada Deklarasi Balfour yang ditandatangani
pada tahun 1917, sebuah kesepakatan antara Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur
Balfour, dan komunitas Yahudi di Inggris.
Deklarasi Balfour diabadikan dalam
mandat Inggris atas Palestina dan mendapat dukungan dari Liga Bangsa-Bangsa
yang baru dibentuk pada tahun 1922. Liga Bangsa-Bangsa merupakan cikal bakal
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Palestina, bagi orang Yahudi, dianggap
sebagai rumah bagi leluhur mereka. Namun, komunitas Arab di Palestina juga
mengklaim wilayah tersebut dan menentang klaim sepihak komunitas Yahudi di
sana.
Dengan dasar ini, konflik
Israel-Palestina menjadi semakin kompleks, melibatkan klaim historis, agama,
dan identitas yang saling bertentangan di wilayah yang sama.
Pada tahun 1948, karena tidak mampu
menyelesaikan pertikaian antara komunitas Yahudi dan Arab di Palestina, Inggris
menarik diri, dan para pemimpin Yahudi mendeklarasikan pembentukan negara
Israel. Wilayah ini dimaksudkan sebagai tempat aman bagi komunitas Yahudi yang
telah mengalami persekusi dan sebagai kampung halaman bagi mereka.
Pertempuran antara komunitas Yahudi
dan milisi Arab semakin intens selama berbulan-bulan. Sehari setelah Israel
mendeklarasikan diri sebagai negara, lima negara Arab menyerang wilayah itu.
Pertempuran berkecamuk, menyebabkan ratusan warga Palestina melarikan diri atau
terpaksa meninggalkan rumah mereka dalam apa yang mereka sebut sebagai Al Nakba
atau "bencana".
Setelah pertempuran berakhir dengan
gencatan senjata pada tahun berikutnya, Israel menguasai sebagian besar wilayah
tersebut. Yordania menduduki wilayah yang kemudian dikenal sebagai Tepi Barat,
dan Mesir menduduki Gaza. Wilayah Yerusalem terbagi antara pasukan Israel di
barat dan pasukan Yordania di timur.
Karena tidak pernah tercapainya
perjanjian perdamaian, peran dan pertempuran terus berlanjut dalam
dekade-dekade berikutnya, membentuk dinamika konflik yang terus berlanjut hingga
saat ini.
Pada tahun 1967, selama Perang Enam
Hari, Israel menduduki wilayah yang signifikan, termasuk Yerusalem Timur dan
Tepi Barat, sebagian Dataran Tinggi Golan di Suriah, Gaza, dan Semenanjung
Sinai. Akibatnya, sebagian besar pengungsi Palestina dan keturunan mereka
berkumpul di Gaza dan Tepi Barat, serta menetap di negara-negara tetangga
seperti Yordania, Suriah, dan Lebanon.
Ketidakizinan bagi pengungsi
Palestina dan keturunan mereka untuk kembali ke kampung halaman mereka menjadi
salah satu aspek kontroversial dalam konflik ini. Israel mempertahankan
kebijakan ini dengan alasan bahwa kembalinya pengungsi dapat membahayakan
keberlanjutan eksistensi Israel sebagai negara Yahudi.
Hingga saat ini, Israel masih
menduduki Tepi Barat dan mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota negaranya,
sementara Palestina berharap Yerusalem Timur akan menjadi ibu kota bagi negara
Palestina di masa mendatang. Pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel oleh
beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, telah menimbulkan kontroversi
internasional dan menambah kompleksitas diplomasi di kawasan tersebut.
Dalam beberapa dekade terakhir,
Israel telah membangun lebih dari 700.000 pemukiman di Tepi Barat dan Yerusalem
Timur. Meskipun Israel menolak klaim bahwa pemukiman-pemukiman ini ilegal,
hukum internasional, termasuk pernyataan dari Dewan Keamanan PBB dan pemerintah
Inggris, menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap norma-norma tersebut.
Dinamika ini terus menjadi poin ketegangan dalam upaya mencapai solusi damai di
antara Israel dan Palestina.