Deklarasi Balfour pada tahun 1917
menjadi pemicu awal Konflik Israel-Palestina. Isinya mendukung pendirian tanah
air bagi bangsa Yahudi di Palestina, yang memicu ketidakpuasan di kalangan
penduduk Palestina. Konflik semakin kompleks dengan munculnya gerakan Zionisme,
ketidakpuasan terhadap Deklarasi Balfour, dan penolakan terhadap Rencana
Pembagian Palestina.
Munculnya gerakan Zionisme
Penyebab konflik antara Israel dan
Palestina melibatkan keinginan keduanya untuk mendirikan negara di tanah yang
sama, yang mendorong munculnya gerakan Zionisme. Zionisme, sebagai upaya
keagamaan dan politik, membawa ribuan orang Yahudi kembali ke tanah air kuno
mereka di Timur Tengah. Gerakan ini berakar pada tahun 1897, dengan tujuan
membentuk sebuah negara Yahudi sebagai suaka bagi bangsa Yahudi dari berbagai
belahan dunia.
Setelah Perang Dunia I, gerakan
Zionisme semakin berkembang, terutama setelah Inggris mendapatkan mandat untuk
membantu mendirikan negara bagi orang Yahudi di wilayah itu. Meskipun bertujuan
positif sebagai suaka bagi bangsa Yahudi, peningkatan imigran Yahudi
menyebabkan perluasan pemukiman di tanah Palestina yang menciptakan ketegangan
dengan penduduk asli.
Dana Nasional Yahudi mendanai
pembelian tanah di Palestina, yang saat itu merupakan wilayah jajahan Ottoman
Turki. Konflik semakin meruncing karena kekhawatiran Ottoman terhadap para
pendatang Yahudi yang dapat melemahkan kekuasaan mereka di Timur Tengah. Kekerasan
pertama terjadi pada 1880-an, memicu sengketa berkepanjangan yang terus
berlanjut hingga hari ini.
Tidak puas dengan Deklarasi Balfour
Tidak puas dengan Deklarasi Balfour
yang dikeluarkan pada 2 November 1917, wilayah Palestina masih terus bergejolak
karena belum terlepas dari konflik dengan Israel. Konflik Israel-Palestina
semakin memanas setelah dikeluarkannya Deklarasi Balfour pada masa Perang Dunia
I (1914-1918), di mana gerakan zionisme politik semakin dominan. Pada periode
ini, para zionis meminta Inggris dan Amerika untuk memberikan jaminan bahwa
jika Kesultanan Utsmaniyah yang masih menguasai Palestina kalah, Yerusalem akan
diubah menjadi negara Yahudi.
Keinginan ini mendapat dukungan dari
pemerintahan Lloyd George di Inggris dan tokoh-tokoh berpengaruh di Amerika.
Tujuan Inggris mendukung zionis adalah untuk memenangi Perang Dunia I, dengan
harapan dapat membujuk Amerika dan Rusia untuk memberikan dukungan selama
Perang Dunia I berlangsung. Pada tahun 1917, Inggris berhasil menguasai Yerusalem,
dan pada 2 November 1917, Deklarasi Balfour yang disusun oleh Arthur Balfour
dikeluarkan.
Sayangnya, dalam Deklarasi Balfour
tidak ditulis secara jelas bahwa Palestina akan dijadikan negara Yahudi. Hal
ini kemudian dimanfaatkan untuk mewujudkan cita-cita mendirikan negara Yahudi
di Palestina. Sejak saat itu, konflik antara Palestina dan Israel terus
berlangsung, menciptakan gejolak politik dan sosial yang kompleks hingga hari
ini. Konflik ini tidak hanya melibatkan pertentangan atas tanah dan wilayah,
tetapi juga menyangkut hak-hak, identitas, dan aspirasi masyarakat yang tinggal
di wilayah tersebut.
Tidak puas dengan Rencana Pembagian
Palestina
Pada tahun 1947, Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) mengusulkan rencana pembagian Palestina yang bertujuan untuk
membagi wilayah tersebut menjadi dua negara, satu bagi bangsa Yahudi dan satu
bagi bangsa Arab. Meskipun beberapa negara mendukung rencana ini, negara-negara
Arab dan pihak Palestina menolaknya dengan tegas, menyebabkan ketegangan yang
semakin meningkat.
Hingga 14 Mei 1948, komunitas Yahudi
di Palestina, yang semakin kuat seiring berlangsungnya migrasi massal,
mendeklarasikan berdirinya negara Israel di hadapan 259 tamu undangan di Museum
Tel Aviv. Proklamasi kemerdekaan ini menjadi tonggak bersejarah yang
menciptakan dampak besar dalam konflik di Timur Tengah.
Berdirinya negara Israel memicu
terjadinya perang besar di wilayah tersebut, melibatkan negara-negara Arab dan
Israel. Pertempuran sengit berlangsung selama 10 bulan, menghasilkan penguasaan
Israel atas hampir 60 persen wilayah yang sebelumnya diusulkan untuk negara
Arab. Peristiwa ini menandai awal dari konflik berkepanjangan antara Israel dan
negara-negara Arab serta masyarakat Palestina.
Sejak saat itu, perbatasan, hak-hak
pengungsi, dan status Yerusalem menjadi poin-poin sengketa yang kompleks, yang
terus memperumit upaya mencapai solusi damai di kawasan tersebut. Konflik
Israel-Palestina tetap menjadi salah satu tantangan geopolitik terbesar dengan
dampak yang meluas di tingkat regional dan global.