Deklarasi Balfour dan Dampaknya: Memahami Akar Konflik Israel-Palestina


Lebih dari 100 tahun yang lalu, pada tanggal 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, Arthur Balfour, mengirim surat kepada Lionel Walter Rothschild, seorang tokoh komunitas Yahudi Inggris. Meskipun singkat, hanya terdiri dari 67 kata, surat tersebut memiliki dampak yang mencolok terhadap sejarah Palestina yang masih terasa hingga saat ini.

Dalam konteks Deklarasi Balfour, Inggris berkomitmen untuk "mendirikan rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina" dan memfasilitasi "pencapaian tujuan ini." Dengan esensi ini, kekuatan Eropa memberikan janji kepada gerakan Zionis untuk mendirikan negara di wilayah yang pada waktu itu dihuni oleh sebagian besar penduduk asli Arab Palestina.

Mandat Inggris kemudian dibentuk pada tahun 1923 dan berlangsung hingga 1948. Selama periode ini, Inggris memfasilitasi migrasi massal orang Yahudi, khususnya setelah gerakan Nazi di Eropa yang memicu gelombang kedatangan besar-besaran.

Penting untuk diingat bahwa Deklarasi Balfour menjadi salah satu pemicu awal dari ketegangan dan konflik yang berkelanjutan antara komunitas Yahudi dan Arab di wilayah tersebut, menggambarkan kompleksitas dan dampak sejarah yang masih mempengaruhi situasi politik dan sosial hingga hari ini.

Dalam gelombang migrasi tersebut, warga Palestina menunjukkan perlawanan terhadap kedatangan orang Yahudi. Mereka khawatir dengan perubahan demografi negara mereka dan penyitaan tanah oleh Inggris yang akan diserahkan kepada pemukim Yahudi.

Ketegangan semakin meningkat, memicu Pemberontakan Arab yang berlangsung dari tahun 1936 hingga 1939. Pada April 1936, Komite Nasional Arab yang baru terbentuk mengajak warga Palestina untuk melakukan pemogokan umum, menahan pembayaran pajak, dan memboikot produk Yahudi sebagai bentuk protes terhadap kolonialisme Inggris dan imigrasi Yahudi yang meningkat.

Pemogokan selama enam bulan itu ditindas secara brutal oleh Inggris, yang melancarkan kampanye penangkapan massal dan merusak rumah-rumah, sebuah praktik yang terus berlanjut oleh Israel terhadap warga Palestina hingga saat ini.

Fase kedua pemberontakan dimulai pada akhir 1937 dan dipimpin oleh gerakan perlawanan petani Palestina, yang menargetkan kekuatan Inggris dan kolonialisme.Bentrokan dan ketegangan antara penduduk asli Palestina dan imigran Yahudi terus berlanjut selama Perang Dunia II dan setelahnya. Pada 1947, situasi semakin rumit dengan rencana PBB untuk membagi Palestina menjadi dua negara terpisah bagi Yahudi dan Arab Palestina. Meskipun diterima oleh pemimpin Yahudi, rencana tersebut ditolak oleh pemimpin Arab.

Periode ini mencapai puncaknya pada tahun 1948, ketika Inggris menarik pasukannya dari Palestina, dan pemimpin Yahudi mendeklarasikan pembentukan negara Israel. Pada saat yang sama, pasukan dari negara-negara Arab segera menyusul dengan menyerang Israel. Perang Arab-Israel 1948 atau Perang Kemerdekaan Israel menyebabkan pengusiran massal sekitar satu juta warga Palestina, yang menciptakan pengungsi Palestina dan meninggalkan bekas pahit yang dikenal sebagai Nakba.

Pemimpin Yahudi menerima pembentukan negara Israel, sedangkan pemimpin Arab menolaknya dan menyatakan bahwa ini adalah pelanggaran terhadap hak-hak mereka. Keputusan PBB untuk membagi Palestina menjadi dua negara dan nasib warga Palestina yang menjadi pengungsi meneguhkan ketegangan dan rasa ketidakpuasan antara kedua belah pihak.

Kesulitan mencapai kesepakatan damai, hak kembali pengungsi, status Yerusalem, dan perbatasan antara Israel dan Palestina menjadi sumber konflik yang berlarut-larut. Terlepas dari berbagai upaya mediasi dan perundingan, konflik tersebut masih berlanjut hingga hari ini, menciptakan tantangan besar bagi perdamaian di Timur Tengah.

LihatTutupKomentar